Jumat, 13 April 2012

Tafsir al-Misbah : Bertanya Kepada Ahli Ilmu


KEUTAMAAN BELAJAR DAN MENGAJAR MENURUT AL-QUR’AN
BERTANYA KEPADA AHLI ILMU
28 Maret 2012
Devi I.F, Ratu R.F, Uly M.Z
Pend. Matematika, semester 4, kelas 4B
Surat al-Furqon ayat 59
 
A.    Penjelasan terhadap surat al-Furqon ayat 59
Surat ini termasuk ke dalam surat Makiyah.

B.     Penafsiran Quraisy Shihab
Ayat ini masih merupakan uraian tentang sifat Allah yang kepada-Nya manusia diminta bertawakkal. Kewajaran bertawakkal kepada Allah antara lain karena Dia Maha hidup dan Penganugerah Hidup yang tidak disentuh mati  bahkan kantuk serta karena Dia Maha Mengetahui. Di samping itu, dia juga Mahakuasa sebagaimana diisyaratkan oleh kandungan ayat 59 di atas. Di sisi lain, pada ayat yang lalu, diperoleh kesan bahwa Allah menunda sukses dakwah dan menunda jatuhnya sanksi atas para pendurhaka yang diketahui Allah dosa-dosanya. Nah, ayat ini menjelaskan betapa Allah tidak tergesa-gesa walau Dia Mahakuasa. Dia Kuasa menciptakan alam raya dalam sekejap karena: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82), tetapi itu tidak dilakukan-Nya. Dia menciptakan alam raya dalam enam hari. Agar manusia-lebih-lebih yang berserah diri kepada-Nya-tidak tergesa-gesa.
Ayat diatas menyatakan: Allah swt. yang kepada-Nya manusia harus bertawakkal adalah Dia Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, yakni enam masa. Kemudian, yakni yang lebih hebat dari penciptaan itu adalah bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, yakni menguasai seluruh wujud-tidak sekedar menciptakannya. Dialah ar-RahmanYang Maha Pelimpah rahmat, Yang menganugerahkan aneka nikmat dan menangguhkan jatuhnya siksa atas para pendurhaka, maka tanyakanlah tentang Dia kepada yang mengetahui dan sesungguhnya Yang Maha Mengetahui adalah Allah swt.

C.     Makna Lafadz
Firman-Nya: (Q$­ƒr& Ïp­GÅÏy) sittati ayyam/ enam hari telah penulis jelaskan ketika menafsirkan QS. al-A’raf [7]: 54. Di sana diantara lain penulis kemukakan bahwa makna penggalan ayat ini menjadi bahasan panjang lebar di kalangan mufasir. Ada yang memahaminya dalam arti enam kali 24 jam. Kendati ketika itu matahari, bahkan alam raya, belum lagi tercipta, dengan alas an ayat ini ditunjukkan kepada manusia dan menggunakan bahasa manusia, sedang manusia memahami sehari sama dengan 24 jam. Ada lagi yang memahaminya dalam arti “enam hari” menurut perhitungan Allah, sedang menurut al-Qur’an:  
Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu” (QS. al-Hajj [22]: 47). Tetapi, menurut ulam yang lain, manusia mengenal aneka perhitungan, perhitungan berdasar kecepatan cahaya, atau suara, atau kecepatan detik-detik jam. Bahkan, al-Qur’an sendiri pada satu tempat menyebut sehari sama dengan seribu tahun. Seperti bunyi ayat al-Hajj yang dikutip di atas dan di tempat lain disebutkan selama lima puluh ribu tahun:
 
Malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS. al-Ma’arij [70]: 4).
Perbedaan di atas bukan berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang saling bertentangan, tetapi ini adalah isyarat tentang relativitas waktu. Ada pelaku yang menempuh jarak tertentu dalam waktu lebih cepat dari pada pelaku lain. Cahaya, misalnya, memerlukan waktu lebih singkat disbanding dengan suara untuk mencapai satu sasaran, demikian seterusnya.
Di sisi lain, kata hari tidak selalu diartikan berlalunya sehari yang 24 jam itu, tetapi ia digunakan untuk menunjuk periode atau masa tertentu yang sangat panjang ataupun singkat. Atas dasar ini,sementara ulama memahami kata hari di sini dalam arti periode atau masa yang tidak secara pasti dapat ditentukan berapa lama waktu tersebut. Yang jelas, Allah swt. menyatakan bahwa itu terjadi dalam “enam hari”. Sayyid Quthub menulis bahwa enam hari penciptaan langit dan bumi juga termasuk gaib yang tidak dilihat dan dialami oleh seorang manusia, bahkan seluruh makhluk:
aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri” (QS. al-Kahf [18]: 51). Semua pendapat yang dikemukakan tentang hal tersebut tidak mempunyai satu dasar yang menyakinkan. Demikian Sayyid Quthub.
Para ilmuwan yang menetapkan waktu bagi penciptaan alam raya berhak menyampaikan pendapatnya, tetapi jangan mengatasnamakan al-Qur’an dalam pendapat itu karena kata hari dapat mengandung sekian banyak makna. Di sisi lain, siapa yang menentukan kadar waktu untuk perbuatan-perbuatan Allah, ia pada hakikatnya hanya mengira-ngira dalam memahami makna kata karena perbuatan Allah mahasuci dari persamaan-Nya dengan perbuatan manusia yang memiliki aneka keterbatasan.
Selanjutnya, informasi tentang penciptaan alam dalam enam hari mengisyaratkan tentang qudrah-Nya, penciptaan alam raya tidak memerlukan waktu.
sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82). Di tempat lain, ditegaskan:
Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata” (QS. al-Qamar [54]: 50). Tetapi, hikmah dan ilmu-Nya menhendaki agar alam raya tercipta dalam “enam hari” untuk menunjukkan bahwa ketergese-gesaan bukanlah sesuatu yang terpuji, tetapi yang terpuji adalah keindahan dan kebaikan karya serta persesuaiannya dengan hikmah dan kemaslahatan.
Firman-Nya: (3ĸöyèø9$#n?tãuqtGó$# ¢OèO) tsumma istawa ‘ala al-‘arsy juga menjadi bahasan para ulama. Ada yang enggan menafsirkannya, “Hanya AAllah yang tahu maknanya” dmikian ungkapan ulama-ulama salaf (abad I-III H.). “kata (uqtGó$#) istawa  dikenal oleh bahasa, kaifiyat/ caranya tidak diketahui, mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.” Demikian ucap Imam Malik ketika makna kata tersebut ditanyakan kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad ke-III berupaya menjelaskan maknanya dengan mengalihkan makna kata (uqtGó$# ) istawa dari makna dasarnya, yaitu bersemayam, ke makna majazi, yaitu “berkuasa”, dan dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang kekuasaan Allah swt. dalam mengatur dan mengendalikan alam raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat kekurangan atau kemakhlukan.
Thabathaba’I mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan antara lain bahwa kata (¸öyèø9$#) ‘arsy, yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana, kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan. Sebenarnya, kata ini pada mulanya berarti sesuatu yang beratap. Tempat duduk penguasa dinamai ‘Arsy karena tingginya tempat itu disbanding tempat yang lain. Yang jelas, hakikat makna kata tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia. Adapun yang terlintas dalam benak orang-orang awam tentang artinya, Allah Mahasuci dari pengertian itu karena, jika demikian, Allah yang terangkat dan ditahan oleh ‘Arsy, padahal,
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah” (QS. Fathir [35]: 41).
Merupakan sesuatu yang sangat lumrah sejak dahulu kala bagi para penguasa atau hakim atau siapapun yang menjadi sumber rujukan orang lain bahwa mereka memiliki tempat duduk yang berbeda dengan orang lain, baik dalam bentuk permadani atau tempat bersandar atau bahkan semacam balai-balai. Yang paling bangga adalah tempat duduk raja yang dinamai ‘Arsy/ singgasana. Peringkat bawahnya adalah kursi yang digunakan untuk menunjuk tempat duduk raja, lalu makna tersebut berkembang sehingga kekuasa raja pun dinamai ‘arsy. Pada pemilik ‘Arsy, terpulang kendali pemerintahan dan kekuasaan dan sumua merujuk kepadanya. Sebagai contoh, setiap masyarakat terlibat dalam berbagai persoalan social, politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Karenya banyak bercabangnya aspek-aspek tersebut, setiap aspek ditangani oleh kelompok dan kelompok ini mempunyai hierarki dan kursi sesuai dengan kemampuan atau bobot masing-masing. Yang di bawah harus mengikuti ketetapan yang di atasnya, demikian seterusnya. Hierarki ini harus terpelihara karena perbedaan yang ada, bila tidak disatukan dalam satu tujuan dan diserasikan atau dikoordinasikan oleh satu kendali, pastilah akan kacau. Dari sini masyarakat maju mengatur kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam-ragam demi ragam-masing-masing ada kursinya dan berbeda-beda pula tingkat dan nilainya. Ia dimulai dari yang kecil, kemudian yang ini tunduk dibawah kursi yang lebih besar, dan ini pun demikian sampai akhirnya pemilik kursi/ kekuasaan besar tunduk pada pemilik ‘Arsy. Demikian juga ada kursi buat Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, dan Presiden. Demikian lebih kurang kehidupan bermasyarakat. Demikian juga kejadian-kejadian juz’I yang terlihat sehari-hari. Masing-masing ada sebabnya dan sebab itu merujuk kepada sebab yang lebih umum dan sebab-sebab umum itu kembali kepada Allah swt.
Tetapi, perlu dicatat bahwa Allah, yang duduk di kursi/’Arsy yang tertinggi itu, keadaan dan pengaturan-Nya terhadap alam raya berbeda dengan makhluk penguasa, misalnya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia yang duduk di atas kursi tidak mengetahui dan tidak juga mengatur secara terperinci apa yang dikuasai oleh pemilik kursi yang berada dibawahnya. Adapun Allah swt., Dia mengetahui dan mengatur secara terperinci apa yang ada di bawah kekuasaan dan pengaturan pemilik kursi-kursi yang dibawahnya. Nah, inilah yang dimaksud dengan Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia yang menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu. Demikian lebih kurang penjelasan Thabathaba’I dalam tafsirnya.
Kata (OèO) tsumma/ kemudian pada ayat di atas bukan dimaksudkan untuk menunjukkan jarak waktu, tetapi untuk menggambarkan batapa jauh tingkat penguasan ‘Arsy disbanding penciptaan langit dan bumi, sedang penguasaan-Nya berlanjut terus-menerus, pemeliharaan-Nya pun demikian. Ini selalu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan yang membawa manfaat untuk seluruh makhluk-Nya. Di sisi lain, hal ini juga dapat merupakan bantahan kepada orang-orang Yahudi yang menyatakan bahwa, setelah Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, Dia beristirahat pada hari ketujuh. Mahasuci Allah atas kepercayaan sesat itu.
Makna kata (`»yJôm§9$#) ar-Rahman telah dikemukakan pada penafsiran ayat 26 surah ini. Hanya saja, para penafsir berbeda pendapat tentang kedudukan kata terebut pada ayat ini. Banyak ulama yang memahaminya sebagai predikat dari satu subjek yang tersirat sehingga ia bermakna Dia-lah ar-Rahman Yang bersemayam/ mengusai ‘Arsy melimpahkan rahmat-Nya, lalu dilanjutkan dengan (#ZŽÎ6yz ÏmÎ/ ö@t«ó¡sù) fas’al bihi khabiran dipahami dalam arti tanyakanlah kepada-Nya tentang hal itu karena sesungguhnya Dia Maha Mengetahui. Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai kata yang berdiri sendiri yang ditampilkan sebagi pujian. Sedang, fas’l bihi khabiran bermakna tanyakanlah tentang ar-Rahman itu, siapapun yang mengenal-Nya. Kata bihi dipahami dalam arti tentang Dia, sedang kata khabiran bukan merupakan sifat Allah swt., tetapi siapa pun yang mengetahui.
Ibn ‘Asyur memahami kalimat fas’al bihi khabiran sebagai salah satu peribahasa yang tercipta melalui al-Qur’an. Serupa dengan peribahasa Arab yang popular, yaitu ungkapan seorang yang berpengetahuan yang didatangi oleh seorang yang bertanya kemudian berkata kepadanya: ‘Ala al-Khabir saqathta (pada ahlinya engkau terjatuh/ datang). Ibn ‘Asyur memahami kata khabir mencakup siapa pun yang mengetahui karena kata itu berbentuk nakirah/ indenfinite, sedang satu kata yang berbentuk nakirah bila dikemukakan dalam konteks perintah, ia berarti umum. Ungkapan itu, menurutnya, untuk menggambarkan betapa luasnya rahmat Allah sehingga tidak ada kalimat yang dapat melukiskannya dan untuk itu yang ingin mengetahui agar bertanya kepada yang mengetahui dan memiliki pengalaman.
Ayat yang menganjurkan untuk bertanya di atas yang berbicara tentang Allah dan penciptaan alam raya dalam enam hari serta penguasaan-Nya terhadap ‘Arsy dipahami oleh para pengarang Tafsir al-Muntakhab sebagai mengandung anjuran akan pentingnya meneliti dan menggali gejala-gejala alam dan system yang ada di dalamnya untuk mengetahui rahasia-rahasia kekuasaan Allah.

D.    Nilai-nilai pendidikan
1.      Pesan pendidikan umum:
a.       Mewujudkan perbaikan individu
·         Dalam pembelajaran harus memperhatikan prosesnya, bukan hanya hasilnya
·         Bertanya kepada yang lebih mengetahui dan memiliki pengalaman
b.      Mewujudkan perbaikan social
·         Berbagi ilmu kepada yang membutuhkan
c.       Mewujudkan perbaikan nasional dan internasional
·         Membentuk karakter bangsa yang tidak hanya mementingkan hasil dalam proses pembelajaran, tetapi prosesnya itu sendiri
2.      Pesan pendidikan khusus
·         Ghairu Mahdhah
Fungsi proses belajar dan mencari ilmu dari ahlinya

Surat Fathir ayat 14 :

A.    Penjelasan terhadap surat Fatir ayat 14
Surat ini termasuk dalam surat makkiyah
B.     Penafsiran Quraisy :
Kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah, ayat di atas mengingatkan mereka salah satu bukti ketidakmampuan sembahan-sembahan selain Allah dan ketiadaan kepemilikan mereka yakni dengan mengatakan : Jika kamu menyeru meminta pertolongan mereka atau menyembah mereka yakni sembahan-sembahan selain Allah itu, mereka tiada mendengar seruan kamu. Betapa mereka dapat mendengar sedang sembahan itu adalah benda-benda mati; dan kalaupun yang kau sembah itu makhluk hidup sehingga mereka mendengar dengan alat pendengarannnya, namun mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kamu kecuali bila diizinkan Allah karena segala sesuatu haruslah si izin-Nya. Dan di hari Kiamat nanti mereka yang kamu sembah itu – baik penyembahan itu mereka setujui apalagi jika tidak – mereka semua akan mengingkari kemusyrikan kamu. Ini telah berkali-kali disampaikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu siapa pun engkau seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui segala perincian persoalan .

C.     Nilai pendidikan :
1.      Pesan Pendidikan Umum
a.       Mewujudkan Perbaikan Individu
·         Dianjurkan untuk selalu bertanya jika mengalami kesulitan dalam hal apapun
·         Mintalah petunjuk serta pertolongan hanya kepada Allah Yang Maha Mengetahui
·         Dengan bertanya kita dapat menambah keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
b.      Mewujudkan Perbaikan Sosial
·         Amalkan serta sampaikan ilmu yang telah didapat agar bermanfaat bagi orang lain
·         Belajar dan Mengajarkan ilmu yang berpedoman pada Al-Qur’an
c.       Mewujudkan Perbaikan Nasional dan Internasional
Menciptakan masyarakat yang berpengetahuan luas serta islami
2.      Pesan Pendidikan Khusus
Ghairu Mahdhah seperti fungsi rajin belajar dan mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya

Surat an-Nisa ayat 83
A.  Penjelasan terhadap surat An-nisa ayat 83
Surat ini termasuk ke dalam surat Madaniyah.

B.  Asbab al-Nuzul surat An-nisa ayat 83
Muslim meriwayatkan bahwa Umar ibnu Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Di sana saya mendapati orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai masjid. Dan mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’ Maka saya segera bangkit dan saya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru dengan lantang, ‘Beliau tidak menceraikan istri-istrinya!.” Lalu turunlah firman Allah, ‘Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)...”(an-Nisaa’:83)’Dan saya adalah orang yang ingin mengetahui hal itu.”

C.  Penafsiran Prof. Quraisy Shihab terhadap surat An-nisa ayat 83
     Kalau ayat yang lalu berbicara tentang orang-orang munafik yang merahasiakan dan merancang siasat buruk di malam hari karena tidak yakin bahwa Allah membongkar rahasia mereka kepada Rasul, maka ayat ini menguraikan sikap dan tindakan buruk mereka yang sifatnya terang-terangan. Yaitu apabila datang kepada mereka, yakni orang-orang munafik itu suatu persoalan, yakni berita yang bersifat issu dan sebelum dibuktikan kebenarannya, baik tentang keamanan ataupun ketakutan yang berkaitan peperangan maupun bukan, mereka lalu menyebarluaskannya, dengan tujuan menimbulkan kerancuan dan kesalahpahaman. Seandainya, sebelum mereka menyebar-luaskannya atau membenarkan dan menolaknya, mereka mengembalikannya, yakni bertanya kepada Rasul jika beliau ada dan atau Ulil Amri, yakni para penanggung jawab satu persoalan dan atau yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka yakni Rasul dan Ulil Amri, sehingga atas dasarnya mereka mengambil sikap yang tepat, menyebarluaskan atau mendiamkannya, membenarkan atau membantahnya. Kalau bukan karena karunia Allah kepada kamu wahai kaum muslim, dengan menganugerahkan kepada kamu petunjukNya, menurunkan kitab suci,  membekali kamu dengan pikiran sehat dan bukan juga karena rahmat-Nya mengutus Rasul atau dengan memberikan kepada kamu taufiq dan hidayat, sehingga dapat mengamalkan tuntunan agama tentulah kamu mengikuti syetan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).
     Imam asy-Syatibi (w. 790 H) menulis dalam bukunya “Al Muwafaqat”, bahwa tidak semua apa yang diketahui boleh disebarluaskan, walaupun ia bagian dari ilmu syariat dan bahagian dari informasi tentang pengetahuan hukum. Informasi ada bagian-bagiannya, ada yang dituntut untuk disebarluaskan – kebanyakan dari ilmu syariat demikian- dan ada juga yang tidak diharapkan sama sekali disebarluaskan, atau baru dapat disebarluaskan setelah mempertimbangkan keadaan, waktu, atau pribadi.
     Tidak semua informasi disampaikan sama kepada yang pandai dan bodoh, atau anak kecil dan dewasa, juga tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Rumus menyangkut ini adalah, paparkanlah masalah yang Anda akan informasikan kepada tuntunan agama, kalau ia telah dapat dibenarkan dalam pertimbangannya, maka perhatikanlah dampaknya berkaitan dengan waktu dan masyarakat. Kalau penginformasiannya tidak menimbulkan dampak negatif, maka paparkan lagi masalah itu dalam benak anda, kepada pertimbangan nalar, kalau nalar memperkenankannya maka anda boleh menyampaikannya kepada umum, atau hanya kepada orang-orang tertentu , jika menurut perkembangan tidak wajar disampaikan kepada umum. Seandainya masalah yang anda ingin informasikan itu tidak mengena dengan apa yang dikemukakan ini, maka berdiam diri adalah (pilihan yang) sesuai dengan kemaslahatan agama dan akal.
     Ini rumus menyangkut informasi yang benar, adapun yang bohong, bahkan yang keliru dan yang tidak diketahui, maka sejak semula telah dilarang.

D.  Pesan Pendidikan
1.      Pesan pendidikan umum :
a.       Mewujudkan perbaikan individu
·         Menganjurkan kita untuk tidak percaya begitu saja ketika menerima informasi ataupun ilmu, dalam artian kita harus berusaha mencari tahu kebenaran dan dasar-dasarnya dengan terus belajar dan bertanya.
·         Menganjurkan kita untuk tidak malu bertanya kepada orang yang ahli atau lebih tahu ketika kita tidak memahami suatu persoalan.
·         Anjuran untuk selalu memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan dengan bertanya kepada orang yang ahli di bidangnya.
b.      Mewujudkan perbaikan sosial
·         Anjuran untuk menguasai informasi atau ilmu yang akan disampaikan kepada masyarakat luas agar tidak menimbulkan kesalahpahaman ataupun fitnah.
·         Orang yang lebih tahu sebaiknya mengajarkan dan menjelaskan kepada orang yang belum tahu.
·         Menumbuhkan sikap hati-hati di tengah masyarakat baik dalam menyerap maupun menyebarkan informasi atau pengetahuan.
c.       Mewujudkan perbaikan nasional dan internasional
·         Mewujudkan generasi bangsa yang berwawasan luas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.
·         Mewujudkan masyarakat yang cerdas dan bijaksana agar usaha perbaikan nasional dapat tercapai.
2.      Pesan pendidikan khusus
a.       Ghairu Mahdhah seperti fungsi rajin belajar, memperluas wawasan dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya dengan rajin bertanya pada orang yang ahli dan lebih tahu.

0 komentar:

Posting Komentar