Jumat, 13 April 2012

Tafsir al-Misbah : Bertanya Kepada Ahli Ilmu


KEUTAMAAN BELAJAR DAN MENGAJAR MENURUT AL-QUR’AN
BERTANYA KEPADA AHLI ILMU
28 Maret 2012
Devi I.F, Ratu R.F, Uly M.Z
Pend. Matematika, semester 4, kelas 4B
Surat al-Furqon ayat 59
 
A.    Penjelasan terhadap surat al-Furqon ayat 59
Surat ini termasuk ke dalam surat Makiyah.

B.     Penafsiran Quraisy Shihab
Ayat ini masih merupakan uraian tentang sifat Allah yang kepada-Nya manusia diminta bertawakkal. Kewajaran bertawakkal kepada Allah antara lain karena Dia Maha hidup dan Penganugerah Hidup yang tidak disentuh mati  bahkan kantuk serta karena Dia Maha Mengetahui. Di samping itu, dia juga Mahakuasa sebagaimana diisyaratkan oleh kandungan ayat 59 di atas. Di sisi lain, pada ayat yang lalu, diperoleh kesan bahwa Allah menunda sukses dakwah dan menunda jatuhnya sanksi atas para pendurhaka yang diketahui Allah dosa-dosanya. Nah, ayat ini menjelaskan betapa Allah tidak tergesa-gesa walau Dia Mahakuasa. Dia Kuasa menciptakan alam raya dalam sekejap karena: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82), tetapi itu tidak dilakukan-Nya. Dia menciptakan alam raya dalam enam hari. Agar manusia-lebih-lebih yang berserah diri kepada-Nya-tidak tergesa-gesa.
Ayat diatas menyatakan: Allah swt. yang kepada-Nya manusia harus bertawakkal adalah Dia Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, yakni enam masa. Kemudian, yakni yang lebih hebat dari penciptaan itu adalah bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, yakni menguasai seluruh wujud-tidak sekedar menciptakannya. Dialah ar-RahmanYang Maha Pelimpah rahmat, Yang menganugerahkan aneka nikmat dan menangguhkan jatuhnya siksa atas para pendurhaka, maka tanyakanlah tentang Dia kepada yang mengetahui dan sesungguhnya Yang Maha Mengetahui adalah Allah swt.

C.     Makna Lafadz
Firman-Nya: (Q$­ƒr& Ïp­GÅÏy) sittati ayyam/ enam hari telah penulis jelaskan ketika menafsirkan QS. al-A’raf [7]: 54. Di sana diantara lain penulis kemukakan bahwa makna penggalan ayat ini menjadi bahasan panjang lebar di kalangan mufasir. Ada yang memahaminya dalam arti enam kali 24 jam. Kendati ketika itu matahari, bahkan alam raya, belum lagi tercipta, dengan alas an ayat ini ditunjukkan kepada manusia dan menggunakan bahasa manusia, sedang manusia memahami sehari sama dengan 24 jam. Ada lagi yang memahaminya dalam arti “enam hari” menurut perhitungan Allah, sedang menurut al-Qur’an:  
Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu” (QS. al-Hajj [22]: 47). Tetapi, menurut ulam yang lain, manusia mengenal aneka perhitungan, perhitungan berdasar kecepatan cahaya, atau suara, atau kecepatan detik-detik jam. Bahkan, al-Qur’an sendiri pada satu tempat menyebut sehari sama dengan seribu tahun. Seperti bunyi ayat al-Hajj yang dikutip di atas dan di tempat lain disebutkan selama lima puluh ribu tahun:
 
Malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS. al-Ma’arij [70]: 4).
Perbedaan di atas bukan berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang saling bertentangan, tetapi ini adalah isyarat tentang relativitas waktu. Ada pelaku yang menempuh jarak tertentu dalam waktu lebih cepat dari pada pelaku lain. Cahaya, misalnya, memerlukan waktu lebih singkat disbanding dengan suara untuk mencapai satu sasaran, demikian seterusnya.
Di sisi lain, kata hari tidak selalu diartikan berlalunya sehari yang 24 jam itu, tetapi ia digunakan untuk menunjuk periode atau masa tertentu yang sangat panjang ataupun singkat. Atas dasar ini,sementara ulama memahami kata hari di sini dalam arti periode atau masa yang tidak secara pasti dapat ditentukan berapa lama waktu tersebut. Yang jelas, Allah swt. menyatakan bahwa itu terjadi dalam “enam hari”. Sayyid Quthub menulis bahwa enam hari penciptaan langit dan bumi juga termasuk gaib yang tidak dilihat dan dialami oleh seorang manusia, bahkan seluruh makhluk:
aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri” (QS. al-Kahf [18]: 51). Semua pendapat yang dikemukakan tentang hal tersebut tidak mempunyai satu dasar yang menyakinkan. Demikian Sayyid Quthub.
Para ilmuwan yang menetapkan waktu bagi penciptaan alam raya berhak menyampaikan pendapatnya, tetapi jangan mengatasnamakan al-Qur’an dalam pendapat itu karena kata hari dapat mengandung sekian banyak makna. Di sisi lain, siapa yang menentukan kadar waktu untuk perbuatan-perbuatan Allah, ia pada hakikatnya hanya mengira-ngira dalam memahami makna kata karena perbuatan Allah mahasuci dari persamaan-Nya dengan perbuatan manusia yang memiliki aneka keterbatasan.
Selanjutnya, informasi tentang penciptaan alam dalam enam hari mengisyaratkan tentang qudrah-Nya, penciptaan alam raya tidak memerlukan waktu.
sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82). Di tempat lain, ditegaskan:
Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata” (QS. al-Qamar [54]: 50). Tetapi, hikmah dan ilmu-Nya menhendaki agar alam raya tercipta dalam “enam hari” untuk menunjukkan bahwa ketergese-gesaan bukanlah sesuatu yang terpuji, tetapi yang terpuji adalah keindahan dan kebaikan karya serta persesuaiannya dengan hikmah dan kemaslahatan.
Firman-Nya: (3ĸöyèø9$#n?tãuqtGó$# ¢OèO) tsumma istawa ‘ala al-‘arsy juga menjadi bahasan para ulama. Ada yang enggan menafsirkannya, “Hanya AAllah yang tahu maknanya” dmikian ungkapan ulama-ulama salaf (abad I-III H.). “kata (uqtGó$#) istawa  dikenal oleh bahasa, kaifiyat/ caranya tidak diketahui, mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.” Demikian ucap Imam Malik ketika makna kata tersebut ditanyakan kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad ke-III berupaya menjelaskan maknanya dengan mengalihkan makna kata (uqtGó$# ) istawa dari makna dasarnya, yaitu bersemayam, ke makna majazi, yaitu “berkuasa”, dan dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang kekuasaan Allah swt. dalam mengatur dan mengendalikan alam raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat kekurangan atau kemakhlukan.
Thabathaba’I mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan antara lain bahwa kata (¸öyèø9$#) ‘arsy, yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana, kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan. Sebenarnya, kata ini pada mulanya berarti sesuatu yang beratap. Tempat duduk penguasa dinamai ‘Arsy karena tingginya tempat itu disbanding tempat yang lain. Yang jelas, hakikat makna kata tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia. Adapun yang terlintas dalam benak orang-orang awam tentang artinya, Allah Mahasuci dari pengertian itu karena, jika demikian, Allah yang terangkat dan ditahan oleh ‘Arsy, padahal,
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah” (QS. Fathir [35]: 41).
Merupakan sesuatu yang sangat lumrah sejak dahulu kala bagi para penguasa atau hakim atau siapapun yang menjadi sumber rujukan orang lain bahwa mereka memiliki tempat duduk yang berbeda dengan orang lain, baik dalam bentuk permadani atau tempat bersandar atau bahkan semacam balai-balai. Yang paling bangga adalah tempat duduk raja yang dinamai ‘Arsy/ singgasana. Peringkat bawahnya adalah kursi yang digunakan untuk menunjuk tempat duduk raja, lalu makna tersebut berkembang sehingga kekuasa raja pun dinamai ‘arsy. Pada pemilik ‘Arsy, terpulang kendali pemerintahan dan kekuasaan dan sumua merujuk kepadanya. Sebagai contoh, setiap masyarakat terlibat dalam berbagai persoalan social, politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Karenya banyak bercabangnya aspek-aspek tersebut, setiap aspek ditangani oleh kelompok dan kelompok ini mempunyai hierarki dan kursi sesuai dengan kemampuan atau bobot masing-masing. Yang di bawah harus mengikuti ketetapan yang di atasnya, demikian seterusnya. Hierarki ini harus terpelihara karena perbedaan yang ada, bila tidak disatukan dalam satu tujuan dan diserasikan atau dikoordinasikan oleh satu kendali, pastilah akan kacau. Dari sini masyarakat maju mengatur kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam-ragam demi ragam-masing-masing ada kursinya dan berbeda-beda pula tingkat dan nilainya. Ia dimulai dari yang kecil, kemudian yang ini tunduk dibawah kursi yang lebih besar, dan ini pun demikian sampai akhirnya pemilik kursi/ kekuasaan besar tunduk pada pemilik ‘Arsy. Demikian juga ada kursi buat Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, dan Presiden. Demikian lebih kurang kehidupan bermasyarakat. Demikian juga kejadian-kejadian juz’I yang terlihat sehari-hari. Masing-masing ada sebabnya dan sebab itu merujuk kepada sebab yang lebih umum dan sebab-sebab umum itu kembali kepada Allah swt.
Tetapi, perlu dicatat bahwa Allah, yang duduk di kursi/’Arsy yang tertinggi itu, keadaan dan pengaturan-Nya terhadap alam raya berbeda dengan makhluk penguasa, misalnya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia yang duduk di atas kursi tidak mengetahui dan tidak juga mengatur secara terperinci apa yang dikuasai oleh pemilik kursi yang berada dibawahnya. Adapun Allah swt., Dia mengetahui dan mengatur secara terperinci apa yang ada di bawah kekuasaan dan pengaturan pemilik kursi-kursi yang dibawahnya. Nah, inilah yang dimaksud dengan Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia yang menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu. Demikian lebih kurang penjelasan Thabathaba’I dalam tafsirnya.
Kata (OèO) tsumma/ kemudian pada ayat di atas bukan dimaksudkan untuk menunjukkan jarak waktu, tetapi untuk menggambarkan batapa jauh tingkat penguasan ‘Arsy disbanding penciptaan langit dan bumi, sedang penguasaan-Nya berlanjut terus-menerus, pemeliharaan-Nya pun demikian. Ini selalu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan yang membawa manfaat untuk seluruh makhluk-Nya. Di sisi lain, hal ini juga dapat merupakan bantahan kepada orang-orang Yahudi yang menyatakan bahwa, setelah Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, Dia beristirahat pada hari ketujuh. Mahasuci Allah atas kepercayaan sesat itu.
Makna kata (`»yJôm§9$#) ar-Rahman telah dikemukakan pada penafsiran ayat 26 surah ini. Hanya saja, para penafsir berbeda pendapat tentang kedudukan kata terebut pada ayat ini. Banyak ulama yang memahaminya sebagai predikat dari satu subjek yang tersirat sehingga ia bermakna Dia-lah ar-Rahman Yang bersemayam/ mengusai ‘Arsy melimpahkan rahmat-Nya, lalu dilanjutkan dengan (#ZŽÎ6yz ÏmÎ/ ö@t«ó¡sù) fas’al bihi khabiran dipahami dalam arti tanyakanlah kepada-Nya tentang hal itu karena sesungguhnya Dia Maha Mengetahui. Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai kata yang berdiri sendiri yang ditampilkan sebagi pujian. Sedang, fas’l bihi khabiran bermakna tanyakanlah tentang ar-Rahman itu, siapapun yang mengenal-Nya. Kata bihi dipahami dalam arti tentang Dia, sedang kata khabiran bukan merupakan sifat Allah swt., tetapi siapa pun yang mengetahui.
Ibn ‘Asyur memahami kalimat fas’al bihi khabiran sebagai salah satu peribahasa yang tercipta melalui al-Qur’an. Serupa dengan peribahasa Arab yang popular, yaitu ungkapan seorang yang berpengetahuan yang didatangi oleh seorang yang bertanya kemudian berkata kepadanya: ‘Ala al-Khabir saqathta (pada ahlinya engkau terjatuh/ datang). Ibn ‘Asyur memahami kata khabir mencakup siapa pun yang mengetahui karena kata itu berbentuk nakirah/ indenfinite, sedang satu kata yang berbentuk nakirah bila dikemukakan dalam konteks perintah, ia berarti umum. Ungkapan itu, menurutnya, untuk menggambarkan betapa luasnya rahmat Allah sehingga tidak ada kalimat yang dapat melukiskannya dan untuk itu yang ingin mengetahui agar bertanya kepada yang mengetahui dan memiliki pengalaman.
Ayat yang menganjurkan untuk bertanya di atas yang berbicara tentang Allah dan penciptaan alam raya dalam enam hari serta penguasaan-Nya terhadap ‘Arsy dipahami oleh para pengarang Tafsir al-Muntakhab sebagai mengandung anjuran akan pentingnya meneliti dan menggali gejala-gejala alam dan system yang ada di dalamnya untuk mengetahui rahasia-rahasia kekuasaan Allah.

D.    Nilai-nilai pendidikan
1.      Pesan pendidikan umum:
a.       Mewujudkan perbaikan individu
·         Dalam pembelajaran harus memperhatikan prosesnya, bukan hanya hasilnya
·         Bertanya kepada yang lebih mengetahui dan memiliki pengalaman
b.      Mewujudkan perbaikan social
·         Berbagi ilmu kepada yang membutuhkan
c.       Mewujudkan perbaikan nasional dan internasional
·         Membentuk karakter bangsa yang tidak hanya mementingkan hasil dalam proses pembelajaran, tetapi prosesnya itu sendiri
2.      Pesan pendidikan khusus
·         Ghairu Mahdhah
Fungsi proses belajar dan mencari ilmu dari ahlinya

Surat Fathir ayat 14 :

A.    Penjelasan terhadap surat Fatir ayat 14
Surat ini termasuk dalam surat makkiyah
B.     Penafsiran Quraisy :
Kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah, ayat di atas mengingatkan mereka salah satu bukti ketidakmampuan sembahan-sembahan selain Allah dan ketiadaan kepemilikan mereka yakni dengan mengatakan : Jika kamu menyeru meminta pertolongan mereka atau menyembah mereka yakni sembahan-sembahan selain Allah itu, mereka tiada mendengar seruan kamu. Betapa mereka dapat mendengar sedang sembahan itu adalah benda-benda mati; dan kalaupun yang kau sembah itu makhluk hidup sehingga mereka mendengar dengan alat pendengarannnya, namun mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kamu kecuali bila diizinkan Allah karena segala sesuatu haruslah si izin-Nya. Dan di hari Kiamat nanti mereka yang kamu sembah itu – baik penyembahan itu mereka setujui apalagi jika tidak – mereka semua akan mengingkari kemusyrikan kamu. Ini telah berkali-kali disampaikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu siapa pun engkau seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui segala perincian persoalan .

C.     Nilai pendidikan :
1.      Pesan Pendidikan Umum
a.       Mewujudkan Perbaikan Individu
·         Dianjurkan untuk selalu bertanya jika mengalami kesulitan dalam hal apapun
·         Mintalah petunjuk serta pertolongan hanya kepada Allah Yang Maha Mengetahui
·         Dengan bertanya kita dapat menambah keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
b.      Mewujudkan Perbaikan Sosial
·         Amalkan serta sampaikan ilmu yang telah didapat agar bermanfaat bagi orang lain
·         Belajar dan Mengajarkan ilmu yang berpedoman pada Al-Qur’an
c.       Mewujudkan Perbaikan Nasional dan Internasional
Menciptakan masyarakat yang berpengetahuan luas serta islami
2.      Pesan Pendidikan Khusus
Ghairu Mahdhah seperti fungsi rajin belajar dan mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya

Surat an-Nisa ayat 83
A.  Penjelasan terhadap surat An-nisa ayat 83
Surat ini termasuk ke dalam surat Madaniyah.

B.  Asbab al-Nuzul surat An-nisa ayat 83
Muslim meriwayatkan bahwa Umar ibnu Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Di sana saya mendapati orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai masjid. Dan mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’ Maka saya segera bangkit dan saya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru dengan lantang, ‘Beliau tidak menceraikan istri-istrinya!.” Lalu turunlah firman Allah, ‘Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)...”(an-Nisaa’:83)’Dan saya adalah orang yang ingin mengetahui hal itu.”

C.  Penafsiran Prof. Quraisy Shihab terhadap surat An-nisa ayat 83
     Kalau ayat yang lalu berbicara tentang orang-orang munafik yang merahasiakan dan merancang siasat buruk di malam hari karena tidak yakin bahwa Allah membongkar rahasia mereka kepada Rasul, maka ayat ini menguraikan sikap dan tindakan buruk mereka yang sifatnya terang-terangan. Yaitu apabila datang kepada mereka, yakni orang-orang munafik itu suatu persoalan, yakni berita yang bersifat issu dan sebelum dibuktikan kebenarannya, baik tentang keamanan ataupun ketakutan yang berkaitan peperangan maupun bukan, mereka lalu menyebarluaskannya, dengan tujuan menimbulkan kerancuan dan kesalahpahaman. Seandainya, sebelum mereka menyebar-luaskannya atau membenarkan dan menolaknya, mereka mengembalikannya, yakni bertanya kepada Rasul jika beliau ada dan atau Ulil Amri, yakni para penanggung jawab satu persoalan dan atau yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka yakni Rasul dan Ulil Amri, sehingga atas dasarnya mereka mengambil sikap yang tepat, menyebarluaskan atau mendiamkannya, membenarkan atau membantahnya. Kalau bukan karena karunia Allah kepada kamu wahai kaum muslim, dengan menganugerahkan kepada kamu petunjukNya, menurunkan kitab suci,  membekali kamu dengan pikiran sehat dan bukan juga karena rahmat-Nya mengutus Rasul atau dengan memberikan kepada kamu taufiq dan hidayat, sehingga dapat mengamalkan tuntunan agama tentulah kamu mengikuti syetan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).
     Imam asy-Syatibi (w. 790 H) menulis dalam bukunya “Al Muwafaqat”, bahwa tidak semua apa yang diketahui boleh disebarluaskan, walaupun ia bagian dari ilmu syariat dan bahagian dari informasi tentang pengetahuan hukum. Informasi ada bagian-bagiannya, ada yang dituntut untuk disebarluaskan – kebanyakan dari ilmu syariat demikian- dan ada juga yang tidak diharapkan sama sekali disebarluaskan, atau baru dapat disebarluaskan setelah mempertimbangkan keadaan, waktu, atau pribadi.
     Tidak semua informasi disampaikan sama kepada yang pandai dan bodoh, atau anak kecil dan dewasa, juga tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Rumus menyangkut ini adalah, paparkanlah masalah yang Anda akan informasikan kepada tuntunan agama, kalau ia telah dapat dibenarkan dalam pertimbangannya, maka perhatikanlah dampaknya berkaitan dengan waktu dan masyarakat. Kalau penginformasiannya tidak menimbulkan dampak negatif, maka paparkan lagi masalah itu dalam benak anda, kepada pertimbangan nalar, kalau nalar memperkenankannya maka anda boleh menyampaikannya kepada umum, atau hanya kepada orang-orang tertentu , jika menurut perkembangan tidak wajar disampaikan kepada umum. Seandainya masalah yang anda ingin informasikan itu tidak mengena dengan apa yang dikemukakan ini, maka berdiam diri adalah (pilihan yang) sesuai dengan kemaslahatan agama dan akal.
     Ini rumus menyangkut informasi yang benar, adapun yang bohong, bahkan yang keliru dan yang tidak diketahui, maka sejak semula telah dilarang.

D.  Pesan Pendidikan
1.      Pesan pendidikan umum :
a.       Mewujudkan perbaikan individu
·         Menganjurkan kita untuk tidak percaya begitu saja ketika menerima informasi ataupun ilmu, dalam artian kita harus berusaha mencari tahu kebenaran dan dasar-dasarnya dengan terus belajar dan bertanya.
·         Menganjurkan kita untuk tidak malu bertanya kepada orang yang ahli atau lebih tahu ketika kita tidak memahami suatu persoalan.
·         Anjuran untuk selalu memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan dengan bertanya kepada orang yang ahli di bidangnya.
b.      Mewujudkan perbaikan sosial
·         Anjuran untuk menguasai informasi atau ilmu yang akan disampaikan kepada masyarakat luas agar tidak menimbulkan kesalahpahaman ataupun fitnah.
·         Orang yang lebih tahu sebaiknya mengajarkan dan menjelaskan kepada orang yang belum tahu.
·         Menumbuhkan sikap hati-hati di tengah masyarakat baik dalam menyerap maupun menyebarkan informasi atau pengetahuan.
c.       Mewujudkan perbaikan nasional dan internasional
·         Mewujudkan generasi bangsa yang berwawasan luas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.
·         Mewujudkan masyarakat yang cerdas dan bijaksana agar usaha perbaikan nasional dapat tercapai.
2.      Pesan pendidikan khusus
a.       Ghairu Mahdhah seperti fungsi rajin belajar, memperluas wawasan dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya dengan rajin bertanya pada orang yang ahli dan lebih tahu.

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia


            Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.
Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.
1.      Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalahCultur al- D eter m inis m.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagaisuperorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.      Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsure kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
a.        Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
·         alat-alat teknologi 
·         sistem ekonomi
·         keluarga
·         kekuasaan politik
b.      Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
·         sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
·         organisasi ekonomi
·         alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama)
·         organisasi kekuatan (politik)

3.      Wujud dan komponen
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
·         Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan,nilai- nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala
atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan
gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada
dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

·         Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
·         Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaanfis ik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
·         Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
·         Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional

4.      Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia
Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.
Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu perubahan sosial, Pertama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .
Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.

5.      Perkembangan Sosial dan Kebudayaan Dewasa Ini
Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.
Penerapan teknologi maju
Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 64 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.
Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)
Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.
Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.
Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.
Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk

6.      Peraturan dan Perundang-undangan
Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.
Pendidikan
Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).
Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.
Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial-budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.
Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial- budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahayalagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.
Betapaun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.