Kamis, 01 Desember 2011

BIOGRAFI R.A. KARTINI DAN PEMIKIRANNYA TENTANG PENDIDIKAN



A.    Biodata R.A Kartini
Nama lengkap                  : Raden Adjeng Kartini
Tempat tanggal lahir        : Jepara, 21 April 1879
Wafat                               : Rembang, 17 September 1904
Suami                               : R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat
Ayah                                : Raden Mas Adhipati Ario Sosroningrat
Ibu                                    : M.A. Ngasirah
Agama                              : Islam
Dikenal karena                 : Emansipasi wanita

B.     Biografi
Raden Adjeng Kartini atau lebih dikenal dengan Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia dari suku jawa. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahassa belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondesi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief  yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelar dan Surat-Surat Cinta karya Multaluli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai gedung pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

C.    Pemikiran Kartini Tentang Pendidikan
Peran RA. Kartini dalam memajukan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu contoh kontribusi wanita yang dicetak dengan tinta emas dalam sejarah. Pada masa itu, kondisi pendidikan di tanah air sangat memprihatinkan, khususnya bagi kaum wanita. Anak-anak di bawah umur 12 tahun masih diperbolehkan mengikuti pelajaran di sekolah. Namun setelah di atas 12 tahun, mereka tidak diperbolehkan lagi belajar di luar rumah. 
Kartini mendobrak kondisi yang memprihatinkan tersebut dengan membangun sekolah khusus wanita. Selain itu, ia juga mendirikan perpustakaan bagi anak-anak perempuan di sekitarnya. Usaha Kartini ini didukung oleh sahabatnya, Rosa Abendanon, dan suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat. Pemikiran-pemikiran Kartini dalam memajukan dunia pendidikan dapat kita baca dalam kumpulan suratnya : “Door Duisternis Tot Licht”, yang terlanjur diartikan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang” tetapi menurut  Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) – mengartikan kalimat “Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya”, tersirat siapa Kartini sebenarnya.
Kartini telah banyak membawa perubahan bagi kemajuan pendidikan kaum wanita di Indonesia. Kartini mengajarkan bahwa seorang wanita harus mempunyai pemikiran jauh ke depan.  Kalau dulu beliau dapat memiliki sahabat pena dari berbagai kalangan yang menambah ilmu dan wawasannya, tentulah sekarang dengan kemajuan yang ada, haruskah disia-siakan?
Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ‘Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Membaca pemikiran perempuan kelahiran Jepara itu ternyata tak sekadar berkutat pada persoalan perempuan, tapi juga pendidikan bagi bangsanya. Di mata Kartini, pendidikan adalah hal penting. Pendidikan akan kuasa mengangkat derajat dan martabat bangsa. Yang menarik, Kartini konsisten mengemukakan pentingnya pendidikan yang mengasah budi pekerti. Seperti kata-kata Kartini yang menjadi doa dan jeritannya kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri tertanggal 3 Januari 1903, “Didiklah orang Jawa!”. Kartini pun mengatakan bahwa terhadap pendidikan itu janganlah hanya akal saja yang dipertajam, tetapi budi pun harus dipertinggi.
Mengenai pentingnya ketinggian budi pekerti ini, Kartini berulang kali menegaskan dalam surat-suratnya. Dalam tulisannya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan! pada 3 Januari 1903, Kartini juga menegaskan pendidikan yang tak hanya mengutamakan kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan akhlak pula. Intinya, pendidikan bagi Kartini tidak boleh mengabaikan penanaman budi pekerti. Dalam melakukan pendidikan, sekolah diperlukan. Namun, sekolah bukan segala-galanya. Pendidikan di sekolah harus dibarengi dengan pendidikan dalam keluarga. Kata Kartini, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.” (Kartini dalam Berilah Orang Jawa Pendidikan tertanggal Januari 1903).
Untuk para guru di sekolah, Kartini mengharapkan guru tak mengajar semata, tapi juga harus menjadi pendidik. Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan!, Kartini dengan tegas berkata, “... Guru-guru memiliki tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus melaksanakan pendidikan rangkap itu, yaitu: pendidikan pikiran dan budi pekerti.”
Perhatian Kartini soal pendidikan di sekolah berjalan beriringan dengan perhatiannya terhadap pendidikan dalam keluarga. Pada titik ini, Kartini menginginkan agar kaum perempuan memiliki kemampuan prima dalam mendidik anak-anaknya. Bagi Kartini, mendidik perempuan merupakan kunci peradaban. Perempuan yang menjadi ibu memiliki peran besar dalam pendidikan anak-anak. Menurut Kartini, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran budi perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas.
Membaca pemikiran Kartini terkait pendidikan, kita juga membaca pemikiran yang tak sekadar normatif. Dalam pengajaran di sekolah, Kartini menginginkan agar murid-murid diberi kebebasan berpikir dan mengutarakan pendapat. Kartini begitu peduli pada pentingnya bahan bacaan di sekolah. Perhatikan ucapan Kartini berikut, “Hendaknya cinta pustaka pada murid-murid ditingkatkan sebanyak-banyaknya. Dan agar ada hasilnya, seyogianya diberikan bimbingan membaca oleh guru-guru yang suka pula akan bacaan. Yang dibaca selalu dibicarakan. Murid-murid sedapatnya didorong maju untuk bertukar pikiran secara bebas dan saling mengasah pikiran di antara mereka sendiri. Misalnya diadakan “malam-malam bercakap-cakap” di bawah pimpinan guru-guru. Di situ dibicarakan perkara dan peristiwa yang penting-penting. murid-murid memikirkan hal itu dan menguraikan pikirannya pada pertemuan berikutnya. Jangan tertawakan mereka bila mereka mengumumkan teori-teori asing, tetapi tolonglah mereka mencari penyelesaian secara bijaksana, lemah lembut, dan kasih sayang.”
Di mata Kartini, bahan bacaan memiliki arti penting untuk mendidik anak-anak. Bahan bacaan adalah alat pendidikan yang diharapkan banyak mendatangkan kebajikan. Bahan bacaan yang disediakan di sekolah tak hanya buku pelajaran, tapi juga bahan bacaan lainnya yang dapat mengasah akal dan hati. Bacaan-bacaan itu seyogianya ditulis dalam bahasa populer, mudah dipahami, dan berisi. Anak-anak hendaknya diberi bacaan yang mengasyikkan, bukan karangan-karangan kering yang semata-mata ilmiah. Ditegaskan Kartini, bahan bacaan harus ada dasar mendidik. Memang bahan bacaan bagi Kartini memiliki arti penting yang akan turut mendidik dengan sebaik-baiknya.
Kartini juga mengajarkan untuk menuntut ilmu tetapi tidak lupa untuk mengamalkan ilmu tersebut. “Pergilah. Laksanakan  cita-citamu. Kerjalah  untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang  palsu tentang  mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi”(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
Membaca pemikiran Kartini, kita memang senantiasa mendapatkan pemikiran terkait perlunya pendidikan bagi perempuan. Kartini memiliki dasar kuat mengenai pendidikan bagi perempuan karena perempuan merupakan pendidik pertama anak-anak. Di tangan perempuan, anak-anak akan tumbuh dan berkembang. Mendidik secara baik anak-anak berarti juga membangun masyarakat-bangsa. Kemajuan perempuan merupakan faktor penting peradaban bangsa.
Tak sekadar pendidikan perempuan, Kartini juga berbicara tentang pendidikan pada umumnya. Tanpa mengurangi sikap kritis terhadap Kartini, pemikiran pendidikan Kartini sebagaimana diutarakan di atas relevan untuk tetap diperhatikan. Pendidikan memang selalu penting bagi kemajuan bangsa. Sebagaimana dikatakan Kartini, semoga pendidikan dapat membangun kesadaran anak-anak bangsa. Melalui pendidikan, anak-anak memenuhi panggilan budi dalam masyarakat terhadap bangsa yang akan mereka kemudikan. Wallahu a’lam.

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini


Analisi Masalah Manajemen Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan setiap peserta didik. Sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan adanya perencanaan serta manajemen yang baik. Perencanaan yang dimaksud adalah kurikulum pendidikan atau sekolah. Sedangkan manajemen dibutuhkan agar semua kegiatan yang berhubungan dengan belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tetapi dalam pelaksanaan banyak ditemui kendala dalam proses belajar mengajar ini. Banyaknya kendala yang dihadapi juga menurunkan kualitas pendidikan.
 Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan yaitu rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan guru, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Seperti yang dialami oleh sebuah yayasan yang terdiri dari jenjang RA sampai MA. Dengan berbagai permasalahan yang dialami, sekolah ini tetap berjalan meskipun dengan kondisi yang memprihatinkan.
Beberapa masalah yang muncul adalah jumlah murid baru di MTs yayasan tersebut sangat kurang, bahkan jumlah siswa baru yang hanya 16 siswa. Masalah kedua tentang seorang anak pemilik yayasan yang ingin mengajar dalam yayasan tersebut, tetapi ia tidak memiliki ijazah S1 maupun akta 4, karena ia lulusan dari pondok pesantren. Kemudian masalah yang ketiga adalah tentang usulan para guru yang menginginkan pergantian kurikulum, karena merasa bahwa siswa-siswa di yayasan tersebut tidak mampu mengikuti kurikulum yang berlaku saat ini.
Ketiga masalah tersebut adalah masalah yang banyak terjadi dalam dunia pendidikan di negri ini. Maka sebagai seorang pendidik, kita harus mengetahui mengapa sampai muncul masalah-masalah seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga para pendidik dapat mencari solusi dan dapat mengantisipasinya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kurangnya jumlah siswa
Seringkali sekolah mendapatkan masalah tentang jumlah siswa yang tidak memenuhi standar. Sehingga sekolah tersebut tidak dapat melaksanakan UN sendiri. Bahkan jika hal ini terjadi dalam beberapa tahun penerimaan siswa baru, maka sekolah terancam ditutup.
Demikian yang dialami oleh MTs sebuah yayasan tersebut. Kepala sekolah MTs telah menggunakan berbagai upaya untuk  mempromosikan sekolahnya kepada MI dari yayasan itu. Mungkin ada beberapa hal yang membuat masyarakat tidak percaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka di MTs tersebut, diantaranya:
1)      Rendahnya tingkat prestasi siswa dan sekolah
2)      Kurangnya fasilitas penunjang yang memadai
3)      Kurangnya manajemen yang baik dalam sekolah maupun yayasan
4)      Sistem perekrutan siswa baru yang kurang maksimal
5)      Kurangnya dana
6)      Kurangnya kerja sama dengan sekolah lain
7)      Kurangnya sosialisasi dengan masyarakat setempat
8)      Lokasi sekolah tidak sesuai, mungkin lokasi yang kebanyakan masyarakatnya tidak mempunyai anak usia sekolah, lokasi yang terlalu berdekatan dengan jalan utama sehinga menciptakan suasana yang tidak kondusif, serta lain sebagainya.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MTs tentunya tidak mudah. Apalagi image MTs yang yang tidak lebih baik dengan SMP. Sehingga MTs harus meningkatkan daya saing terhadap MTs-MTs lain, bahkan SMP. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa upaya, diantaranya:
1)      Meningkatkan promosi semenarik mungkin, bukan hanya di lingkungan yayasan, tetapi juga masyarakat sekitar. Seperti pemberian seragam gratis, keringanan uang gedung atau perawatan sekolah, dll.
2)      Meningkatkan kualitas peserta didik dan sekolah
3)      Meningkatkan fasilitas penunjang, seperti perpustakaan, labolatorium, lapangan, dll
4)      Mencoba menggalang dana baik dari negri maupun swasta
5)      Memberi beasiswa penuh kepada anak-anak kurang mampu dan juga anak-anak berprestasi untuk ditingkatkan akademisnya
6)      Membentuk kerja sama dengan sekolah-sekolah lain
7)      Melakukan sosialisasi terhadap wali murid di yayasan tersebut serta masyarakat setempat
8)      Memberi imbalan kepada siswa atau pun umum yang bisa mendaftarkan siswa baru kesekolah tersebut
9)      Relokasi sekolah jika diperlukan
Semua upaya tidak terlepas dari pemaksimalan fungsi administrasi atau manajemen pendidikan. Agar dalam pecapaian tujuan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan adanya proses administrasi pendidikan yang meliputi fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, komunikasi, supervise, kepegawaian, pembiayaan, dan evaluasi. Semua fungsi tersebut saling berkaitan, sehingga jika ada salah satu fungsi yang lemah, maka kegiatan tidak akan berjalan maksimal.
Dengan mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat, sekolah tidak akan lagi kesulitan mendapatkan siswa. Bahkan para orangtua dan calon siswa yang akan mencari serta berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah tersebut.

B.     Masalah Penerimaan Guru Baru
Guru adalah sebuah profesi yang memiliki citra mulia dalam pandangan masyarakat. Demikian juga pandangan salah seorang anak pemilik yayasan sedang banyak masalah ini. Dia sangat berkeinginan untuk menjadi satu dari sekian guru yang mengajar dalam yayasan. Semboyan ‘guru tanpa tanda jasa’ menjadikannya ingin merelakan sisa hidupnya untuk mengabdi dalam dunia pendidikan. Bahkan dia sempat mengatakan kepada ayahnya, yang merupakan pemilik yayasan, bahwa dia bersedia mengajar tanpa digaji, semuanya lillahi ta’ala. Sehingga pemilik yayasan ini terus membujuk kepada kepala-kepala sekolah di yayasan tersebut untuk mau menerima anaknya menjadi salah satu pengajar. Tetapi hal yang memberatkan para kepala sekolah adalah bahwa dia tidak mempunyai basic pendidikan di bidang keguruan. Dia merupakan alumni pondok pesantren yang notabennya tidak memiliki ijazah S1 atau pun akta IV.
Guru adalah sebuah profesi, sedangkan profesi itu  sendiri dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mensyaratkan persiapan spesialisasi akademik dalam waktu yang relative lama di perguruan tinggi,baik dalam bidang sosial, eksakta,maupun seni dan pekerjaan itu lebih bersifat mental intelektual dari pada fisik manual,yang dalam mekanisme kerjanya di bawah naungan kode etik (Sirkum pribadi).
  Berdasar definisi tersebut, maka jika ingin menjadi seorang guru, maka diperlukan adanya pendidikan berlanjut ke jenjang S1.Hal tersebut juga sesuai dengan ketetapan pemerintah saat ini, yang mensyaratkan pendidikan guru minimal S1. Selain itu, syarat untuk menjadi seorang guru, antara lain:
1)      Komitmen tinggi
2)      Memiliki kepribadian yang mantab dan berkembang
3)      Memiliki keterampilan untuk membangkitkan minat belajar siswa
4)      Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat
5)      Sikap profesionalannya berkembang secara berkesinambungan
Untuk itu, kepala sekolah juga harus memperhatikan syarat-syarat untuk menjadi guru yang lainnya. Bukan hanya masalah ijazah. Tanpa ijazah bukan berarti tanpa kemampuan. Kemampuan disini lebihdi tekankan dari pada ijazah, tetapi tetap saja ijazah menjadi hal yang wajib untuk menunjang kematangannya menjadi seorang guru. Dia bisa diterima dengan syarat mau melanjutkan pendidikan formal jurusan pendidikan ke tingkat sarjana.
Tanpa basic pendidikan, maka kepala sekolah juga harus membimbing, mengawasi dan mengarahkannya dalam proses mengajarnya secara intensif pada masa awal pengajarannya. Kepala sekolah juga harus bijak untuk menentukan mata pelajaran yang sesuai dengan kemampuannya yang basic pendidikannya adalah pesantren, maka mata pelajaran yang cocok untuk diajarkannya adalah mata pelajaran agama islam, seperti nahwu dan shorof, tauhid, hadist, dan sejenisnya. Selain itu, untuk menunjang kemampuannya, maka perlu untuknya diikutkan ke seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan pendidikan, karena tugas guru bukan hanya mengajar materi di kelas, tetapi juga membimbing siswa-siswanya untuk menjadi manusia yang guna. Selain itu, juga harus memiliki keterampilan guru, yaitu sebagai administrator pendidikan, yang membuat proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Seperti membuat silabus, RPP, media pembelajaran, dll.

C.    Masalah Guru terhadap Kurikulum
Para guru mengeluhkan tentang ketidak mampuan siswa dalam mengikuti materi yang disampaikan, atau siswa dianggap terlalu bodoh untuk mencerna materi yang diajarkan mengikuti kurikulum yang ada. Sehinga para guru mengusulkan kepada kepala sekolah untuk mengganti kurikulum yang ada sekarang sesuai dengan kemampuan siswa.
Kurikulum yang dipakai saat ini adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, social budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta didik. kurikulum di indonesia sendiri bersifat sentralisasi, yaitu kurikulum yang disusun oleh tim atau komisi khusus yang terdiri atas para ahli. Disini dalam pendidikan telah ditetapkan standar-standar pelajaran dan kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa dengan kelas dan jenjang masing-masing. sedangkan yang dimaksud kebebasan dalam sekolah, masih terbatas untuk mengembangkan masing-masing potensi yang dimiliki Sehingga, tidak bisa begitu saja diubah. Kalau yayasan tersebut menggunakan kurikulum yang berbeda, maka akan ada ketidak seragaman, tidak adanya standar penilaian yang sama, adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah lain dan mungkin kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di Indonesia sendiri setiap tahunnya mengadakan UN (Ujian Nasional) bagi tingkat akhir masing-masing jenjang pendidikan. Hal ini ditujukan sebagai standarisasi pendidikan. Kalau kurikulum di ubah, maka siswa pun tidak dapat mengikuti UN.
Beberapa penyebab yang mungkin terjadi karena siswa tidak dapat mencerna pelajaran dengan baik, selain dari faktor kurikulum yang tidak sesuai adalah:
1)      Kualitas staf pengajar yang rendah
2)      Suasana kelas yang tidak kondusif dalam proses belajar mengajar
3)      Minimnya media pembelajaran
4)      Metode pengajaran yang tidak sesuai
5)      Banyaknya tindakan indisipliner baik dari staf pengajar maupun dari siswa
Melihat dari beberapa faktor yang dapat menimbulkan siswa tidak mampu menyerap pelajaran dengan baik, maka dapat dilakukan beberapa upaya, selain mengganti kurikulum yang ada. Antara lain:
1)      Meningkatkan kualitas staf pengajar yang ada
2)      Menciptakan suasana yang kondusif di kelas
3)      Menggunakan berbagai media pembelajaran dalam proses belajar mengajar
4)      Karena setiap anak mempunyai cara belajar yang berbeda, maka perlu digunakan  berbagai metode pembelajaran.
5)      Meningkatkan kedisiplinan di lingkungan sekolah
6)      Menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah lainnya dalam pengadaan tenaga pengajar yang profesional
7)      Kepala sekolah atau orang lain yang di datangkan untuk menjadi supervisor kegiatan belajar mengajar di kelas
8)      Melakukan evaluasi rutin terhadap guru-guru
9)      Menyebar rata murid-murid yang dianggap pintar dalam pembagian kelas
10)  Mengadakan les gratis khusus atau les selain les rutin bagi anak-anak yang tidak mampu mengikuti pelajaran
11)  Mengadakan studi banding serta seminar tentang kurikulum bagi guru-guru
12)  Meningkatkan pendidikan para guru
13)  Memberi motivasi agar siswa rajin belajar, dsb.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akademik siswa. Tidak mungkin semua siswa dalam sekolah iti yang bodoh. Ketidak mampuan siswa tidak dapat disalahkan. Tetapi kemampuan para gurulah yang harus ditingkatkan.



DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Ngalim.2009. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya