KEUTAMAAN
BELAJAR DAN MENGAJAR MENURUT AL-QUR’AN
BERTANYA
KEPADA AHLI ILMU
28
Maret 2012
Devi
I.F, Ratu R.F, Uly M.Z
Pend.
Matematika, semester 4, kelas 4B
Surat al-Furqon ayat 59
A. Penjelasan
terhadap surat al-Furqon ayat 59
Surat
ini termasuk ke dalam surat Makiyah.
B. Penafsiran
Quraisy Shihab
Ayat ini masih
merupakan uraian tentang sifat Allah yang kepada-Nya manusia diminta
bertawakkal. Kewajaran bertawakkal kepada Allah antara lain karena Dia Maha hidup
dan Penganugerah Hidup yang tidak disentuh mati
bahkan kantuk serta karena Dia Maha Mengetahui. Di samping itu, dia juga
Mahakuasa sebagaimana diisyaratkan oleh kandungan ayat 59 di atas. Di sisi
lain, pada ayat yang lalu, diperoleh kesan bahwa Allah menunda sukses dakwah
dan menunda jatuhnya sanksi atas para pendurhaka yang diketahui Allah
dosa-dosanya. Nah, ayat ini menjelaskan betapa Allah tidak tergesa-gesa walau
Dia Mahakuasa. Dia Kuasa menciptakan alam raya dalam sekejap karena: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia”
(QS. Yasin [36]: 82), tetapi itu tidak dilakukan-Nya. Dia menciptakan alam raya
dalam enam hari. Agar manusia-lebih-lebih yang berserah diri kepada-Nya-tidak
tergesa-gesa.
Ayat diatas
menyatakan: Allah swt. yang kepada-Nya manusia harus bertawakkal adalah Dia Yang telah menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, yakni enam masa. Kemudian, yakni yang lebih hebat dari
penciptaan itu adalah bahwa Dia
bersemayam di atas ‘Arsy, yakni menguasai seluruh wujud-tidak sekedar
menciptakannya. Dialah ar-RahmanYang
Maha Pelimpah rahmat, Yang menganugerahkan aneka nikmat dan menangguhkan
jatuhnya siksa atas para pendurhaka, maka
tanyakanlah tentang Dia kepada yang mengetahui dan sesungguhnya Yang Maha
Mengetahui adalah Allah swt.
C. Makna
Lafadz
Firman-Nya: (Q$r&
ÏpGÅÏy) sittati ayyam/ enam hari telah penulis
jelaskan ketika menafsirkan QS. al-A’raf [7]: 54. Di sana diantara lain penulis
kemukakan bahwa makna penggalan ayat ini menjadi bahasan panjang lebar di
kalangan mufasir. Ada yang memahaminya dalam arti enam kali 24 jam. Kendati
ketika itu matahari, bahkan alam raya, belum lagi tercipta, dengan alas an ayat
ini ditunjukkan kepada manusia dan menggunakan bahasa manusia, sedang manusia
memahami sehari sama dengan 24 jam. Ada lagi yang memahaminya dalam arti “enam
hari” menurut perhitungan Allah, sedang menurut al-Qur’an:
“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah
seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu” (QS. al-Hajj [22]: 47).
Tetapi, menurut ulam yang lain, manusia mengenal aneka perhitungan, perhitungan
berdasar kecepatan cahaya, atau suara, atau kecepatan detik-detik jam. Bahkan,
al-Qur’an sendiri pada satu tempat menyebut sehari sama dengan seribu tahun.
Seperti bunyi ayat al-Hajj yang dikutip di atas dan di tempat lain disebutkan
selama lima puluh ribu tahun:
“Malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap)
kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS.
al-Ma’arij [70]: 4).
Perbedaan
di atas bukan berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang saling bertentangan, tetapi
ini adalah isyarat tentang relativitas waktu. Ada pelaku yang menempuh jarak
tertentu dalam waktu lebih cepat dari pada pelaku lain. Cahaya, misalnya,
memerlukan waktu lebih singkat disbanding dengan suara untuk mencapai satu
sasaran, demikian seterusnya.
Di
sisi lain, kata hari tidak selalu
diartikan berlalunya sehari yang 24 jam itu, tetapi ia digunakan untuk menunjuk
periode atau masa tertentu yang sangat panjang ataupun singkat. Atas dasar
ini,sementara ulama memahami kata hari
di sini dalam arti periode atau masa yang tidak secara pasti dapat ditentukan
berapa lama waktu tersebut. Yang jelas, Allah swt. menyatakan bahwa itu terjadi
dalam “enam hari”. Sayyid Quthub menulis bahwa enam hari penciptaan langit dan
bumi juga termasuk gaib yang tidak dilihat dan dialami oleh seorang manusia,
bahkan seluruh makhluk:
“aku tidak menghadirkan mereka untuk
menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka
sendiri” (QS. al-Kahf [18]: 51). Semua pendapat yang dikemukakan tentang
hal tersebut tidak mempunyai satu dasar yang menyakinkan. Demikian Sayyid
Quthub.
Para
ilmuwan yang menetapkan waktu bagi penciptaan alam raya berhak menyampaikan
pendapatnya, tetapi jangan mengatasnamakan al-Qur’an dalam pendapat itu karena
kata hari dapat mengandung sekian
banyak makna. Di sisi lain, siapa yang menentukan kadar waktu untuk
perbuatan-perbuatan Allah, ia pada hakikatnya hanya mengira-ngira dalam memahami
makna kata karena perbuatan Allah mahasuci dari persamaan-Nya dengan perbuatan
manusia yang memiliki aneka keterbatasan.
Selanjutnya,
informasi tentang penciptaan alam dalam enam hari mengisyaratkan tentang
qudrah-Nya, penciptaan alam raya tidak memerlukan waktu.
“sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia”
(QS. Yasin [36]: 82). Di tempat lain, ditegaskan:
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan
seperti kejapan mata” (QS. al-Qamar [54]: 50). Tetapi, hikmah dan ilmu-Nya
menhendaki agar alam raya tercipta dalam “enam hari” untuk menunjukkan bahwa
ketergese-gesaan bukanlah sesuatu yang terpuji, tetapi yang terpuji adalah
keindahan dan kebaikan karya serta persesuaiannya dengan hikmah dan
kemaslahatan.
Firman-Nya:
(3ĸöyèø9$#n?tãuqtGó$#
¢OèO)
tsumma istawa ‘ala al-‘arsy juga
menjadi bahasan para ulama. Ada yang enggan menafsirkannya, “Hanya AAllah yang
tahu maknanya” dmikian ungkapan ulama-ulama salaf (abad I-III H.). “kata (uqtGó$#)
istawa dikenal oleh bahasa, kaifiyat/ caranya tidak diketahui, mempercayainya adalah wajib dan
menanyakannya adalah bid’ah.” Demikian ucap Imam Malik ketika makna kata
tersebut ditanyakan kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad ke-III berupaya
menjelaskan maknanya dengan mengalihkan makna kata (uqtGó$#
) istawa dari makna dasarnya, yaitu bersemayam, ke makna majazi, yaitu
“berkuasa”, dan dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang
kekuasaan Allah swt. dalam mengatur dan mengendalikan alam raya, tetapi tentu
saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat
kekurangan atau kemakhlukan.
Thabathaba’I
mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan antara lain bahwa kata (¸öyèø9$#)
‘arsy, yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana,
kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan.
Sebenarnya, kata ini pada mulanya berarti sesuatu
yang beratap. Tempat duduk penguasa dinamai ‘Arsy karena tingginya
tempat itu disbanding tempat yang lain. Yang jelas, hakikat makna kata tersebut
pada ayat ini tidak diketahui manusia. Adapun yang terlintas dalam benak
orang-orang awam tentang artinya, Allah Mahasuci dari pengertian itu karena,
jika demikian, Allah yang terangkat dan ditahan oleh ‘Arsy, padahal,
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi
supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang
pun yang dapat menahan keduanya selain Allah” (QS. Fathir [35]: 41).
Merupakan
sesuatu yang sangat lumrah sejak dahulu kala bagi para penguasa atau hakim atau
siapapun yang menjadi sumber rujukan orang lain bahwa mereka memiliki tempat
duduk yang berbeda dengan orang lain, baik dalam bentuk permadani atau tempat
bersandar atau bahkan semacam balai-balai. Yang paling bangga adalah tempat
duduk raja yang dinamai ‘Arsy/ singgasana.
Peringkat bawahnya adalah kursi yang
digunakan untuk menunjuk tempat duduk raja, lalu makna tersebut berkembang
sehingga kekuasa raja pun dinamai ‘arsy.
Pada pemilik ‘Arsy, terpulang kendali pemerintahan dan kekuasaan dan sumua
merujuk kepadanya. Sebagai contoh, setiap masyarakat terlibat dalam berbagai
persoalan social, politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Karenya banyak
bercabangnya aspek-aspek tersebut, setiap aspek ditangani oleh kelompok dan
kelompok ini mempunyai hierarki dan kursi
sesuai dengan kemampuan atau bobot masing-masing. Yang di bawah harus mengikuti
ketetapan yang di atasnya, demikian seterusnya. Hierarki ini harus terpelihara
karena perbedaan yang ada, bila tidak disatukan dalam satu tujuan dan
diserasikan atau dikoordinasikan oleh satu kendali, pastilah akan kacau. Dari
sini masyarakat maju mengatur kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam-ragam demi
ragam-masing-masing ada kursinya dan berbeda-beda pula tingkat dan nilainya. Ia
dimulai dari yang kecil, kemudian yang ini tunduk dibawah kursi yang lebih
besar, dan ini pun demikian sampai akhirnya pemilik kursi/ kekuasaan besar tunduk pada pemilik ‘Arsy. Demikian juga ada
kursi buat Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, dan Presiden.
Demikian lebih kurang kehidupan bermasyarakat. Demikian juga kejadian-kejadian
juz’I yang terlihat sehari-hari. Masing-masing ada sebabnya dan sebab itu
merujuk kepada sebab yang lebih umum dan sebab-sebab umum itu kembali kepada
Allah swt.
Tetapi,
perlu dicatat bahwa Allah, yang duduk di kursi/’Arsy yang tertinggi itu,
keadaan dan pengaturan-Nya terhadap alam raya berbeda dengan makhluk penguasa,
misalnya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia yang duduk di atas
kursi tidak mengetahui dan tidak juga mengatur secara terperinci apa yang
dikuasai oleh pemilik kursi yang berada dibawahnya. Adapun Allah swt., Dia
mengetahui dan mengatur secara terperinci apa yang ada di bawah kekuasaan dan
pengaturan pemilik kursi-kursi yang dibawahnya. Nah, inilah yang dimaksud
dengan Dia bersemayam di atas ‘Arsy.
Dia yang menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu. Demikian lebih
kurang penjelasan Thabathaba’I dalam tafsirnya.
Kata
(OèO)
tsumma/ kemudian pada ayat di atas
bukan dimaksudkan untuk menunjukkan jarak waktu, tetapi untuk menggambarkan
batapa jauh tingkat penguasan ‘Arsy disbanding penciptaan langit dan bumi,
sedang penguasaan-Nya berlanjut terus-menerus, pemeliharaan-Nya pun demikian. Ini
selalu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan yang membawa manfaat untuk seluruh makhluk-Nya.
Di sisi lain, hal ini juga dapat merupakan bantahan kepada orang-orang Yahudi
yang menyatakan bahwa, setelah Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari, Dia beristirahat pada hari ketujuh. Mahasuci Allah atas kepercayaan sesat
itu.
Makna
kata (`»yJôm§9$#)
ar-Rahman telah dikemukakan pada
penafsiran ayat 26 surah ini. Hanya saja, para penafsir berbeda pendapat
tentang kedudukan kata terebut pada ayat ini. Banyak ulama yang memahaminya
sebagai predikat dari satu subjek yang tersirat sehingga ia bermakna Dia-lah ar-Rahman Yang bersemayam/
mengusai ‘Arsy melimpahkan rahmat-Nya, lalu dilanjutkan dengan (#ZÎ6yz
ÏmÎ/
ö@t«ó¡sù)
fas’al bihi khabiran dipahami dalam
arti tanyakanlah kepada-Nya tentang
hal itu karena sesungguhnya Dia Maha Mengetahui. Ada juga ulama yang memahami
kata ar-Rahman sebagai kata yang
berdiri sendiri yang ditampilkan sebagi pujian. Sedang, fas’l bihi khabiran bermakna tanyakanlah
tentang ar-Rahman itu, siapapun yang mengenal-Nya. Kata bihi dipahami dalam arti tentang Dia, sedang kata khabiran bukan merupakan sifat Allah
swt., tetapi siapa pun yang mengetahui.
Ibn
‘Asyur memahami kalimat fas’al bihi
khabiran sebagai salah satu peribahasa yang tercipta melalui al-Qur’an.
Serupa dengan peribahasa Arab yang popular, yaitu ungkapan seorang yang
berpengetahuan yang didatangi oleh seorang yang bertanya kemudian berkata
kepadanya: ‘Ala al-Khabir saqathta (pada
ahlinya engkau terjatuh/ datang). Ibn ‘Asyur memahami kata khabir mencakup siapa pun yang
mengetahui karena kata itu berbentuk nakirah/
indenfinite, sedang satu kata yang berbentuk nakirah bila dikemukakan dalam konteks perintah, ia berarti umum.
Ungkapan itu, menurutnya, untuk menggambarkan betapa luasnya rahmat Allah
sehingga tidak ada kalimat yang dapat melukiskannya dan untuk itu yang ingin
mengetahui agar bertanya kepada yang mengetahui dan memiliki pengalaman.
Ayat
yang menganjurkan untuk bertanya di atas yang berbicara tentang Allah dan
penciptaan alam raya dalam enam hari serta penguasaan-Nya terhadap ‘Arsy
dipahami oleh para pengarang Tafsir
al-Muntakhab sebagai mengandung anjuran akan pentingnya meneliti dan menggali
gejala-gejala alam dan system yang ada di dalamnya untuk mengetahui
rahasia-rahasia kekuasaan Allah.
D. Nilai-nilai
pendidikan
1. Pesan
pendidikan umum:
a. Mewujudkan
perbaikan individu
·
Dalam
pembelajaran harus memperhatikan prosesnya, bukan hanya hasilnya
·
Bertanya kepada
yang lebih mengetahui dan memiliki pengalaman
b. Mewujudkan
perbaikan social
·
Berbagi ilmu
kepada yang membutuhkan
c. Mewujudkan
perbaikan nasional dan internasional
·
Membentuk
karakter bangsa yang tidak hanya mementingkan hasil dalam proses pembelajaran,
tetapi prosesnya itu sendiri
2. Pesan
pendidikan khusus
·
Ghairu
Mahdhah
Fungsi proses belajar dan mencari
ilmu dari ahlinya
Surat Fathir ayat 14 :
A. Penjelasan
terhadap surat Fatir ayat 14
Surat
ini termasuk dalam surat makkiyah
B. Penafsiran
Quraisy :
Kepada
kaum musyrikin yang menyembah selain Allah, ayat di atas mengingatkan mereka
salah satu bukti ketidakmampuan sembahan-sembahan selain Allah dan ketiadaan
kepemilikan mereka yakni dengan mengatakan : Jika kamu menyeru meminta pertolongan mereka atau menyembah mereka yakni sembahan-sembahan selain
Allah itu, mereka tiada mendengar seruan
kamu. Betapa mereka dapat mendengar sedang sembahan itu adalah benda-benda
mati; dan kalaupun yang kau sembah
itu makhluk hidup sehingga mereka
mendengar dengan alat pendengarannnya, namun mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kamu kecuali bila
diizinkan Allah karena segala sesuatu haruslah si izin-Nya. Dan di hari Kiamat nanti mereka yang kamu sembah itu – baik
penyembahan itu mereka setujui apalagi jika tidak – mereka semua akan mengingkari kemusyrikan kamu. Ini
telah berkali-kali disampaikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu siapa pun
engkau seperti yang diberikan oleh
Yang Maha Mengetahui segala perincian persoalan .
C. Nilai
pendidikan :
1. Pesan
Pendidikan Umum
a. Mewujudkan
Perbaikan Individu
·
Dianjurkan untuk
selalu bertanya jika mengalami kesulitan dalam hal apapun
·
Mintalah
petunjuk serta pertolongan hanya kepada Allah Yang Maha Mengetahui
·
Dengan bertanya
kita dapat menambah keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
b. Mewujudkan
Perbaikan Sosial
·
Amalkan serta
sampaikan ilmu yang telah didapat agar bermanfaat bagi orang lain
·
Belajar dan
Mengajarkan ilmu yang berpedoman pada Al-Qur’an
c. Mewujudkan
Perbaikan Nasional dan Internasional
Menciptakan
masyarakat yang berpengetahuan luas serta islami
2. Pesan
Pendidikan Khusus
Ghairu Mahdhah seperti fungsi rajin belajar dan
mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya
Surat an-Nisa ayat 83
A.
Penjelasan
terhadap surat An-nisa ayat 83
Surat ini termasuk ke dalam surat Madaniyah.
B.
Asbab al-Nuzul
surat An-nisa ayat 83
Muslim
meriwayatkan bahwa Umar ibnu Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak
mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Di sana saya mendapati
orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai
masjid. Dan mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’
Maka saya segera bangkit dan saya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru
dengan lantang, ‘Beliau tidak menceraikan istri-istrinya!.” Lalu turunlah
firman Allah, ‘Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)...”(an-Nisaa’:83)’Dan saya adalah
orang yang ingin mengetahui hal itu.”
C.
Penafsiran Prof.
Quraisy Shihab terhadap surat An-nisa ayat 83
Kalau ayat yang lalu berbicara tentang
orang-orang munafik yang merahasiakan dan merancang siasat buruk di malam hari
karena tidak yakin bahwa Allah membongkar rahasia mereka kepada Rasul, maka
ayat ini menguraikan sikap dan tindakan buruk mereka yang sifatnya
terang-terangan. Yaitu apabila datang kepada mereka, yakni orang-orang munafik
itu suatu persoalan, yakni berita yang bersifat issu dan sebelum dibuktikan
kebenarannya, baik tentang keamanan ataupun ketakutan yang berkaitan peperangan
maupun bukan, mereka lalu menyebarluaskannya, dengan tujuan menimbulkan kerancuan
dan kesalahpahaman. Seandainya, sebelum mereka menyebar-luaskannya atau
membenarkan dan menolaknya, mereka mengembalikannya, yakni bertanya kepada
Rasul jika beliau ada dan atau Ulil Amri, yakni para penanggung jawab satu
persoalan dan atau yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat
mengetahuinya dari mereka yakni Rasul dan Ulil Amri, sehingga atas dasarnya
mereka mengambil sikap yang tepat, menyebarluaskan atau mendiamkannya,
membenarkan atau membantahnya. Kalau bukan karena karunia Allah kepada kamu
wahai kaum muslim, dengan menganugerahkan kepada kamu petunjukNya, menurunkan
kitab suci, membekali kamu dengan
pikiran sehat dan bukan juga karena rahmat-Nya mengutus Rasul atau dengan
memberikan kepada kamu taufiq dan hidayat, sehingga dapat mengamalkan tuntunan
agama tentulah kamu mengikuti syetan, kecuali sebagian kecil saja (di antara
kamu).
Imam asy-Syatibi (w. 790 H) menulis dalam
bukunya “Al Muwafaqat”, bahwa tidak semua apa yang diketahui boleh
disebarluaskan, walaupun ia bagian dari ilmu syariat dan bahagian dari
informasi tentang pengetahuan hukum. Informasi ada bagian-bagiannya, ada yang
dituntut untuk disebarluaskan – kebanyakan dari ilmu syariat demikian- dan ada
juga yang tidak diharapkan sama sekali disebarluaskan, atau baru dapat
disebarluaskan setelah mempertimbangkan keadaan, waktu, atau pribadi.
Tidak semua informasi disampaikan sama
kepada yang pandai dan bodoh, atau anak kecil dan dewasa, juga tidak semua
pertanyaan perlu dijawab. Rumus menyangkut ini adalah, paparkanlah masalah yang
Anda akan informasikan kepada tuntunan agama, kalau ia telah dapat dibenarkan
dalam pertimbangannya, maka perhatikanlah dampaknya berkaitan dengan waktu dan
masyarakat. Kalau penginformasiannya tidak menimbulkan dampak negatif, maka
paparkan lagi masalah itu dalam benak anda, kepada pertimbangan nalar, kalau
nalar memperkenankannya maka anda boleh menyampaikannya kepada umum, atau hanya
kepada orang-orang tertentu , jika menurut perkembangan tidak wajar disampaikan
kepada umum. Seandainya masalah yang anda ingin informasikan itu tidak mengena
dengan apa yang dikemukakan ini, maka berdiam diri adalah (pilihan yang) sesuai
dengan kemaslahatan agama dan akal.
Ini rumus menyangkut informasi yang benar,
adapun yang bohong, bahkan yang keliru dan yang tidak diketahui, maka sejak
semula telah dilarang.
D.
Pesan Pendidikan
1.
Pesan pendidikan
umum :
a.
Mewujudkan
perbaikan individu
·
Menganjurkan
kita untuk tidak percaya begitu saja ketika menerima informasi ataupun ilmu,
dalam artian kita harus berusaha mencari tahu kebenaran dan dasar-dasarnya
dengan terus belajar dan bertanya.
·
Menganjurkan
kita untuk tidak malu bertanya kepada orang yang ahli atau lebih tahu ketika
kita tidak memahami suatu persoalan.
·
Anjuran untuk
selalu memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan dengan bertanya kepada
orang yang ahli di bidangnya.
b.
Mewujudkan
perbaikan sosial
·
Anjuran untuk
menguasai informasi atau ilmu yang akan disampaikan kepada masyarakat luas agar
tidak menimbulkan kesalahpahaman ataupun fitnah.
·
Orang yang lebih
tahu sebaiknya mengajarkan dan menjelaskan kepada orang yang belum tahu.
·
Menumbuhkan
sikap hati-hati di tengah masyarakat baik dalam menyerap maupun menyebarkan
informasi atau pengetahuan.
c.
Mewujudkan
perbaikan nasional dan internasional
·
Mewujudkan
generasi bangsa yang berwawasan luas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.
·
Mewujudkan
masyarakat yang cerdas dan bijaksana agar usaha perbaikan nasional dapat
tercapai.
2.
Pesan pendidikan
khusus
a.
Ghairu Mahdhah
seperti fungsi rajin belajar, memperluas wawasan dan mencari ilmu
sebanyak-banyaknya dengan rajin bertanya pada orang yang ahli dan lebih tahu.