Kamis, 01 Desember 2011

BIOGRAFI R.A. KARTINI DAN PEMIKIRANNYA TENTANG PENDIDIKAN



A.    Biodata R.A Kartini
Nama lengkap                  : Raden Adjeng Kartini
Tempat tanggal lahir        : Jepara, 21 April 1879
Wafat                               : Rembang, 17 September 1904
Suami                               : R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat
Ayah                                : Raden Mas Adhipati Ario Sosroningrat
Ibu                                    : M.A. Ngasirah
Agama                              : Islam
Dikenal karena                 : Emansipasi wanita

B.     Biografi
Raden Adjeng Kartini atau lebih dikenal dengan Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia dari suku jawa. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahassa belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondesi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief  yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelar dan Surat-Surat Cinta karya Multaluli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai gedung pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

C.    Pemikiran Kartini Tentang Pendidikan
Peran RA. Kartini dalam memajukan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu contoh kontribusi wanita yang dicetak dengan tinta emas dalam sejarah. Pada masa itu, kondisi pendidikan di tanah air sangat memprihatinkan, khususnya bagi kaum wanita. Anak-anak di bawah umur 12 tahun masih diperbolehkan mengikuti pelajaran di sekolah. Namun setelah di atas 12 tahun, mereka tidak diperbolehkan lagi belajar di luar rumah. 
Kartini mendobrak kondisi yang memprihatinkan tersebut dengan membangun sekolah khusus wanita. Selain itu, ia juga mendirikan perpustakaan bagi anak-anak perempuan di sekitarnya. Usaha Kartini ini didukung oleh sahabatnya, Rosa Abendanon, dan suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat. Pemikiran-pemikiran Kartini dalam memajukan dunia pendidikan dapat kita baca dalam kumpulan suratnya : “Door Duisternis Tot Licht”, yang terlanjur diartikan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang” tetapi menurut  Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) – mengartikan kalimat “Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya”, tersirat siapa Kartini sebenarnya.
Kartini telah banyak membawa perubahan bagi kemajuan pendidikan kaum wanita di Indonesia. Kartini mengajarkan bahwa seorang wanita harus mempunyai pemikiran jauh ke depan.  Kalau dulu beliau dapat memiliki sahabat pena dari berbagai kalangan yang menambah ilmu dan wawasannya, tentulah sekarang dengan kemajuan yang ada, haruskah disia-siakan?
Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ‘Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Membaca pemikiran perempuan kelahiran Jepara itu ternyata tak sekadar berkutat pada persoalan perempuan, tapi juga pendidikan bagi bangsanya. Di mata Kartini, pendidikan adalah hal penting. Pendidikan akan kuasa mengangkat derajat dan martabat bangsa. Yang menarik, Kartini konsisten mengemukakan pentingnya pendidikan yang mengasah budi pekerti. Seperti kata-kata Kartini yang menjadi doa dan jeritannya kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri tertanggal 3 Januari 1903, “Didiklah orang Jawa!”. Kartini pun mengatakan bahwa terhadap pendidikan itu janganlah hanya akal saja yang dipertajam, tetapi budi pun harus dipertinggi.
Mengenai pentingnya ketinggian budi pekerti ini, Kartini berulang kali menegaskan dalam surat-suratnya. Dalam tulisannya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan! pada 3 Januari 1903, Kartini juga menegaskan pendidikan yang tak hanya mengutamakan kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan akhlak pula. Intinya, pendidikan bagi Kartini tidak boleh mengabaikan penanaman budi pekerti. Dalam melakukan pendidikan, sekolah diperlukan. Namun, sekolah bukan segala-galanya. Pendidikan di sekolah harus dibarengi dengan pendidikan dalam keluarga. Kata Kartini, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.” (Kartini dalam Berilah Orang Jawa Pendidikan tertanggal Januari 1903).
Untuk para guru di sekolah, Kartini mengharapkan guru tak mengajar semata, tapi juga harus menjadi pendidik. Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan!, Kartini dengan tegas berkata, “... Guru-guru memiliki tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus melaksanakan pendidikan rangkap itu, yaitu: pendidikan pikiran dan budi pekerti.”
Perhatian Kartini soal pendidikan di sekolah berjalan beriringan dengan perhatiannya terhadap pendidikan dalam keluarga. Pada titik ini, Kartini menginginkan agar kaum perempuan memiliki kemampuan prima dalam mendidik anak-anaknya. Bagi Kartini, mendidik perempuan merupakan kunci peradaban. Perempuan yang menjadi ibu memiliki peran besar dalam pendidikan anak-anak. Menurut Kartini, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran budi perempuan, mendidik perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas.
Membaca pemikiran Kartini terkait pendidikan, kita juga membaca pemikiran yang tak sekadar normatif. Dalam pengajaran di sekolah, Kartini menginginkan agar murid-murid diberi kebebasan berpikir dan mengutarakan pendapat. Kartini begitu peduli pada pentingnya bahan bacaan di sekolah. Perhatikan ucapan Kartini berikut, “Hendaknya cinta pustaka pada murid-murid ditingkatkan sebanyak-banyaknya. Dan agar ada hasilnya, seyogianya diberikan bimbingan membaca oleh guru-guru yang suka pula akan bacaan. Yang dibaca selalu dibicarakan. Murid-murid sedapatnya didorong maju untuk bertukar pikiran secara bebas dan saling mengasah pikiran di antara mereka sendiri. Misalnya diadakan “malam-malam bercakap-cakap” di bawah pimpinan guru-guru. Di situ dibicarakan perkara dan peristiwa yang penting-penting. murid-murid memikirkan hal itu dan menguraikan pikirannya pada pertemuan berikutnya. Jangan tertawakan mereka bila mereka mengumumkan teori-teori asing, tetapi tolonglah mereka mencari penyelesaian secara bijaksana, lemah lembut, dan kasih sayang.”
Di mata Kartini, bahan bacaan memiliki arti penting untuk mendidik anak-anak. Bahan bacaan adalah alat pendidikan yang diharapkan banyak mendatangkan kebajikan. Bahan bacaan yang disediakan di sekolah tak hanya buku pelajaran, tapi juga bahan bacaan lainnya yang dapat mengasah akal dan hati. Bacaan-bacaan itu seyogianya ditulis dalam bahasa populer, mudah dipahami, dan berisi. Anak-anak hendaknya diberi bacaan yang mengasyikkan, bukan karangan-karangan kering yang semata-mata ilmiah. Ditegaskan Kartini, bahan bacaan harus ada dasar mendidik. Memang bahan bacaan bagi Kartini memiliki arti penting yang akan turut mendidik dengan sebaik-baiknya.
Kartini juga mengajarkan untuk menuntut ilmu tetapi tidak lupa untuk mengamalkan ilmu tersebut. “Pergilah. Laksanakan  cita-citamu. Kerjalah  untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang  palsu tentang  mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi”(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
Membaca pemikiran Kartini, kita memang senantiasa mendapatkan pemikiran terkait perlunya pendidikan bagi perempuan. Kartini memiliki dasar kuat mengenai pendidikan bagi perempuan karena perempuan merupakan pendidik pertama anak-anak. Di tangan perempuan, anak-anak akan tumbuh dan berkembang. Mendidik secara baik anak-anak berarti juga membangun masyarakat-bangsa. Kemajuan perempuan merupakan faktor penting peradaban bangsa.
Tak sekadar pendidikan perempuan, Kartini juga berbicara tentang pendidikan pada umumnya. Tanpa mengurangi sikap kritis terhadap Kartini, pemikiran pendidikan Kartini sebagaimana diutarakan di atas relevan untuk tetap diperhatikan. Pendidikan memang selalu penting bagi kemajuan bangsa. Sebagaimana dikatakan Kartini, semoga pendidikan dapat membangun kesadaran anak-anak bangsa. Melalui pendidikan, anak-anak memenuhi panggilan budi dalam masyarakat terhadap bangsa yang akan mereka kemudikan. Wallahu a’lam.

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ibu kartini menginspirasi

Posting Komentar